Filosofi Cicak
“Cicak-cicak di dinding, diam-diam merayap.
Datang seekor nyamuk, hap, lalu ditangkap”
Siapa yang tak tahu lagu ini, teman? Di kampungku lagu ini cukup populer karena selalu dinyanyikan untuk menghibur anak-anak desa. Entah apa yang membuat lagu itu dianggap menarik. Yang jelas amak-amak terlihat hobi sekali duduk di muka pintu sambil menyanyikan lagu ini untuk anak-anak yang dipangkunya.
Setiap hari. Tak pernah aku lewati hari tanpa
mendengar dengungan lagu itu di siang atau malam hari. Memang di kampungku banyak sekali cicak, teman. Dari yang kecil hingga yang gemuk pernah aku lihat disini. Dari yang berwarna putih pucat hingga berbintik-bintik pernah ku tangkap karena aku tertantang dengan kecepatannya. Tak kusangka, bagi beberapa orang cicak adalah mahluk yang menjijikan. Bahkan banyak yang menyayangkan mengapa Tuhan begitu teganya mencipta cicak di dunia. Apakah diciptanya hanya untuk menjadi musuh banyak manusia? Menurutku tidak. Bagiku cicak menyimpan begitu banyak rahasia, misteri, dan juga pembelajaran. Bagaimana menurutmu, teman?
mendengar dengungan lagu itu di siang atau malam hari. Memang di kampungku banyak sekali cicak, teman. Dari yang kecil hingga yang gemuk pernah aku lihat disini. Dari yang berwarna putih pucat hingga berbintik-bintik pernah ku tangkap karena aku tertantang dengan kecepatannya. Tak kusangka, bagi beberapa orang cicak adalah mahluk yang menjijikan. Bahkan banyak yang menyayangkan mengapa Tuhan begitu teganya mencipta cicak di dunia. Apakah diciptanya hanya untuk menjadi musuh banyak manusia? Menurutku tidak. Bagiku cicak menyimpan begitu banyak rahasia, misteri, dan juga pembelajaran. Bagaimana menurutmu, teman?
Amak yang selalu mengajari aku, jangan remehkan hal yang kecil! Katanya, mungkin dari sana aku bisa belajar hal yang lebih besar dibanding ukurannya. Dari seekor semut, amak mengajari, jangan malas! Semut mengumpulkan timbunan makanan saat musim panas, sehingga saat musim hujan tiba mereka punya makanan cukup untuk seluruh kelompoknya. Semut menjadi salah satu topik favorit amak ketika aku kecil. Dari ukuran satu semut, kata amak, aku bisa belajar seribu hal.
Tapi aku paling suka cerita amak tentang cicak. Bayangkan teman, amak pernah bertanya, di mana saja cicak ada? Ia hanya tertawa ketika aku menjawab bahwa cicak banyak juga di sawah dan di saung tengah ladang. Amak bilang kalau cicak ada dimana-mana. Tempat makan, rumah orang kaya di kota, bahkan di Istana Negara milik pak Presiden juga ada cicak.
Aku ragu.
Aku pikir cicak hanya ada di desa-desa dan kampung-kampung seperti di tempatku. Tapi amak selalu bilang kalau cicak yang biasa kutangkap ada juga di Istana pak Presiden.
Aku jadi bertanya-tanya, memangnya di Istana pak Presiden banyak nyamuk? Bagaimana caranya cicak bisa sampai di Istana pak Presiden? Aku sedikit iri. Belum pernah aku lihat bentuk Istana pak Presiden secara langsung, dalam televisi sekalipun. Oh iya, aku lupa teman. Di rumahku belum punya televisi. Pantas aku merasa belum pernah melihat Istana pak Presiden.
Amak mengajak aku berandai-andai saat menceritakan kisah cicak. Amak bilang andai cicak di Istana pak Presiden bisa bicara, pasti dia sudah diwawancarai. Semua orang pasti mau tahu, bagaimana caranya cicak itu bisa sampai di Istana pak Presiden? Amak bilang, kalau cicak itu jawab, pasti jawabannya cuma satu: “saya juga nggak tahu.”
“Saya nggak tahu kenapa bisa sampai disini. Yang saya tahu, saya setiap hari cuma menangkap nyamuk. Saya lihat ada nyamuk disana, saya kejar. Saya tangkap. Saya lihat nyamuk disini, saya kejar. Saya tangkap. Eh, tiba-tiba saya sampai di Istana.”
Tahukan teman, penjelasan amak setelah itu tak bisa aku lupakan seumur hidupku. Amak bilang kalau cicak itu tidak pernah mengejar istana. Cicak itu hanya tahu bahwa ia mengejar nyamuk, dan ia hanya lakukan yang TERBAIK. Amak bilang, kalau aku mau lakukan suatu hal, lakukanlah yang terbaik. Suatu hari nanti aku pasti menemukan “istana”ku sendiri.
Teman, jangan kejar istananya, kejar nyamuknya. Itu yang aku pegang selama hampir dua puluh tahun. Dulu, aku hanya penjahit keliling di kampung. Setelah mendengar cerita amak tentang cicak itu, aku hanya kerjakan kerjaan kecilku dengan usaha yang terbaik. Tak lagi aku pikirkan punya mesin obras canggih. Mesin jahit sederhana milikku ini sudah cukup untuk membetulkan baju-baju maupun celana yang sobek di sekitar kampungku.
Tapi, kini tak pernah aku bayangkan punya tiga belas pabrik garmen di berbagai daerah di Indonesia. Aku tak hanya membetulkan sobekan baju atau celana sekarang. Aku mengirim kain serta pakaian ke pelosok Nusantara untuk dijual. Bahkan sekarang telah merambah ke manca negara.
Bagaimana aku bisa menjadi seperti ini? Teman, jujur aku juga nggak tahu bagaimana caranya. Yang aku tahu, aku hanya menjadi penjahit keliling dengan usaha yang TERBAIK. Inilah aku sekarang. Aku benar-benar tidak tahu kenapa aku bisa sampai pada tahap ini.
Benar teman, sama seperti cicak. Aku hanya melakukan yang terbaik. “Istana” hanya bonus dari Yang Kuasa ketika kita kerjakan bagian kita dengan usaha yang maksimal.
Sumber : http://makna-kata.blogspot.com/2011/01/filosofi-cicak.html
Sumber : http://makna-kata.blogspot.com/2011/01/filosofi-cicak.html
0 komentar:
Posting Komentar